Kamis, 06 Mei 2010

Ekosistem Mangrove di Indonesia

Ekosistem Mangrove di Indonesia

1. DEFINISI EKOSISTEM MANGROVE
Hutan mangrove adalah sebutan untuk sekelompok tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut pantai. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, atau juga hutan payau. Kita sering menyebut hutan di pinggir pantai tersebut sebagai hutan bakau. Sebenarnya, hutan tersebut lebih tepat dinamakan hutan mangrove. Istilah 'mangrove' digunakan sebagai pengganti istilah bakau untuk menghindarkan kemungkinan salah pengertian dengan hutan yang terdiri atas pohon bakau Rhizophora spp. Karena bukan hanya pohon bakau yang tumbuh di sana. Selain bakau, terdapat banyak jenis tumbuhan lain yang hidup di dalamnya.



2. CIRI-CIRI EKOSISTEM MANGROVE
Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik, adalah :
• memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;
• memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;
• memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora;
• memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.
Sedangkan tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah :
• tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang pertama;
• tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;
• daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat;
• airnya berkadar garam (bersalinitas) payau (2 - 22 o/oo) hingga asin.
3. PENYEBARAN MANGROVE
Berbagai laporan dan publikasi ilmiah menunjukkan bahwa hutan mangrove ditemukan hampir disetiap propinsi di Indonesia. Walaupun di daerah pantai Propinsi D.I. Yogyakarta dilaporkan beberapa jenis vegetasi mangrove tumbuh, namun mungkin karena luasan yang kecil atau karena tidak membentuk tegakan yang kompak sehingga tidak dikategorikan sebagai hutan, maka luasan hutan mangrove di Propinsi D.I. Yogyakarta tersebut sampai saat ini belum dilaporkan. Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun terdapat variasi yang nyata dari luas total hutan mangrove Indonesia, yakni berkisar antara 2,5 juta – 4,25 juta ha. Beranjak dari perkiraan luas hutan mangrove yang berstatus kawasan hutan di Indonesia pada tahun 1993 seluas 3.765.250 ha, total luas areal berhutan mangrove berkurang sekitar 1,3 % dalam kurun waktu 6 tahun (1993 sampai 1999). Angka penurunan luas hutan mangrove dalam kurun waktu antara tahun 1993 – 1999 ini jauh lebih kecil dibandingkan dalam kurun waktu 1982 – 1983. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Kusmana (1995) diketahui bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1982 – 1993 (11 tahun), luas hutan mangrove turun sebesar 11,3 % (4,25 juta ha pada tahun 1982 menjadi 3,7 juta ha pada tahun 1993) atau 1 % per tahun.
Ditjen RLPS, Departemen Kehutanan pada tahun 1999/2000 menginformasikan bahwa potensi mangrove di Indonesia adalah 9,2 juta ha, dan 5,3 juta ha di antaranya atau sekitar 57,6 % dari luas hutan mangrove di Indonesia dalam kondisi rusak, dimana sebagian besar, yakni sekitar 69,8 % atau 3,7 juta ha terdapat di luar kawasan hutan dan sisanya sekitar 30,2 % atau 1,6 juta ha terdapat di dalam kawasan hutan. Sedangkan rehabilitasi hutan mangrove melalui pembangunan plot-plot percontohan penanaman mangrove yang sudah dilaksanakan oleh Ditjen RLPS sampai tahun 2001 hanya sekitar 21.130 ha.
4. CIRI-CIRI FISIK YANG PENTING HABITAT HUTAN MANGROVE
Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Hal ini terlihat pada jenis Bruguiera sexangula, Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonneratia caseolaris yang tumbuh, berbuah dan berkecambah di Kebun Raya Bogor dan hadirnya mangrove di sepanjang tepian sungai Kapuas, sampai ke pedalaman sejauh lebih 200 km, di Kalimantan Barat. Mangrove juga berbeda dari hutan darat, dalam hal ini jenis-jenis mangrove tertentu tumbuh menggerombol di tempat yang sangat luas. Disamping Rhizophora spp., jenis penyusun utama mangrove lainnya dapat tumbuh secara "coppice”. Asosiasi hutan mangrove selain terdiri dari sejumlah jenis yang toleran terhadap air asin dan lingkungan lumpur, bahkan juga dapat berasosiasi dengan hutan air payau di bagian hulunya yang hampir seluruhnya terdiri atas tegakan nipah Nypa fruticans.
5. FLORA MANGROVE
Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Menurut Hutching dan Saenger (1987) telah diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri dari 30 genus dan lebih kurang 80 spesies. Sedangkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Soemodihardjo et al, 1993).
Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni :
1. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contoh : Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.
3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.

Flora mangrove umumnya di lapangan tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah :
• Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan.
• Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air dan drainase.
• Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap kadar garam.
• Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.
• Pasokan dan aliran air tawar
6. FAUNA MANGROVE
Ekosistem mangrove merupakan habitat bagi berbagai fauna, baik fauna khas mangrove maupun fauna yang berasosiasi dengan mangrove. Berbagai fauna tersebut menjadikan mangrove sebagai tempat tinggal, mencari makan, bermain atau tempat berkembang biak.

Penelitian mengenai fauna mangrove di Indonesia masih terbatas, baik di bidang kajiannya maupun lokasinya. Sampai saat ini, beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan mengenai fauna yang berasosiasi khusus dengan hutan mangrove mengambil lokasi di Pulau Jawa (Teluk Jakarta, Tanjung Karawang, Segara Anakan – Cilacap, Segara Anak – Jawa Timur, Pulau Rambut, Sulawesi (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, Ambon, Sumatera (Lampung, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara), dan Kalimantan Barat.
Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia. Secara garis besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial), fauna air tawar dan fauna laut. Fauna darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), Biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umunya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Bracyura. Para peneliti melaporkan bahwa fauna laut tersebut merupakan komponen utama fauna hutan mangrove.
7. MANFAAT DAN FUNGSI MANGROVE
Secara Fisik
• Penahan abrasi pantai.
• Penahan intrusi (peresapan) air laut.
• Penahan angin.
• Menurunkan kandungan gas karbon dioksida (CO2) di udara, dan bahan-bahan pencemar di perairan rawa pantai.
Secara Biologi
• Tempat hidup (berlindung, mencari makan, pemijahan dan asuhan) biota laut seperti ikan dan udang).
• Sumber bahan organik sebagai sumber pakan konsumen pertama (pakan cacing, kepiting dan golongan kerang/keong), yang selanjutnya menjadi sumber makanan bagi konsumen di atasnya dalam siklus rantai makanan dalam suatu ekosistem.
• Tempat hidup berbagai satwa liar, seperti monyet, buaya muara, biawak dan burung.
Secara Sosial Ekonomi
• Tempat kegiatan wisata alam (rekreasi, pendidikan dan penelitian).
• Penghasil kayu untuk kayu bangunan, kayu bakar, arang dan bahan baku kertas, serta daun nipah untuk pembuatan atap rumah.
• Penghasil tannin untuk pembuatan tinta, plastik, lem, pengawet net dan penyamakan kulit.
• Penghasil bahan pangan (ikan/udang/kepiting, dan gula nira nipah), dan obat-obatan (daun Bruguiera sexangula untuk obat penghambat tumor, Ceriops tagal dan Xylocarpus mollucensis untuk obat sakit gigi, dan lain-lain).
• Tempat sumber mata pencaharian masyarakat nelayan tangkap dan petambak., dan pengrajin atap dan gula nipah.
8. UPAYA PELESTARIAN MANGROVE
Bentuk tekanan terhadap kawasan mangrove yang paling besar adalah pengalih-fungsian (konversi) lahan mangrove menjadi tambak udang/ikan, sekaligus pemanfaatan kayunya untuk diperdagangkan. Selain itu, juga tumbuhnya berbagai konflik akibat berbagai kepentingan antar lintas instansi sektoral maupun antar lintas wilayah administratif.
Secara ideal, pemanfaatan kawasan mangrove harus mempertimbangkan kebutuhan masyarakat tetapi tidak sampai mengakibatkan kerusakan terhadap keberadaan mangrove. Selain itu, yang menjadi pertimbangan paling mendasar adalah pengembangan kegiatan yang menguntungkan bagi masyarakat dengan tetap mempertimbangkan kelestarian fungsi mangrove secara ekologis (fisik-kimia dan biologis). Perlu juga mengembangkan matapencaharian alternatif bagi masyarakat sekitar mangrove dengan mengandalkan bahan baku non-kayu dan diversifikasi bahan baku industri kehutanan dan arang seperti yang terjadi di Nipah Panjang, Batu Ampar, Pontianak. Masyarakat merubah pola konsumsi bahan bakar dari minyak tanah dan arang bakau menjadi arang leban dan tempurung kelapa dan menggunakan tungku hemat energi atau anglo.

0 komentar:

Posting Komentar