Selasa, 01 Juni 2010

PEMBESARAN/PENGGEMUKAN KEPITING (Scylla serrata) ALTERNATIF USAHA DI BAWAH TEGAKAN HUTAN MANGROVE
DI DESA GRINTING KABUPATEN BREBES


I. PENDAHULUAN
Kehidupan dimanapun berada akan banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ada. Baik di daerah hulu maupun di daerah hilir, di pegunungan maupun di daerah pesisir, manusia akan saling berinteraksi dengan alam lingkungan setempat dimana ia tinggal. Kondisi alam lingkungan tersebut bila dikelola dengan baik, tentunya akan memberikan daya dukung yang baik pula bagi kehidupan dan kebutuhan hidup penghuninya.


Semua komunitas termasuk semua organisme komponen bersama lingkungan yang membentuk suatu sistem yang saling berinterasi disebut EKOSISTEM. Demikian pula, semua komponen lingkungan yang ada di daerah pesisir, kita sebut Ekosistem Pantai. Untuk dapat mempunyai daya dukung yang baik, maka ekosistem pantai harus dikelola dengan cara-cara yang baik pula, yang pada gilirannya akan didapatkan sumber-sumber penghidupan masyarakat pantai secara lestari.
Ciri-ciri ekosistem pantai yang baik, antara lain :
1. Terjaganya garis pantai secara permanen, yaitu bibir pantai yang membatasi daratan dan perairan.
2. Adanya kawasan hutan mangrove yang ideal ( + 30%) dari luas wilayah pesisir. Kawasan hutan mangrove ini membatasi daerah pantai dengan daerah budidaya maupun pemukiman.
3. Terlaksananya pola usaha budidaya air payau yang berwawasan lingkungan.
4. Terkendalinya pencemaran pantai yang disebabkan oleh bahan kimia maupun bahan olahan pabrik/industri.
5. Mampu berperan sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir.
Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan populasi manusia, maka bertambah pula aktivitas pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dengan demikian tidak terkecuali, daerah pantai/pesisir juga mengalami desakan eksploitasi yang berlebihan. Dengan manusia melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan yang melebihi kemampuan lingkungan maka akan terjadi eksploitasi lingkungan yang berlebihan sehingga berakibat terjadinya degradasi lingkungan pantai. Hal ini terjadi terutama sekitar tahun 1986-an, yaitu sejak adanya demam budidaya udang windu (Tiger prawn)
Adapun ciri-ciri pantai yang mengalami degradasi adalah :
a. Berkurangnya kawasan hutan mangrove sampai 0%
b. Tercemarnya perairan pantai dengan kondisi air berwarna kuning kecoklatan.
c. Daerah pertambakan tidak subur lagi, sehingga budidaya air payau produksinya sangat merosot.
d. Ekosistem pantai tidak lagi mampu memberi sumber penghidupan bagi masyarakat.
Akibat aktivitas masyarakat pantai tersebut maka pemerintah (Dinas Kehutanan Kabupaten Brebes) memperluas wilayah pembangunannya yang meliputi juga daerah pantai, melalui usaha-usaha konservasi tanah. Dan kegiatan yang dilaksanakan meliputi :
a. Penyuluhan kepada masyarakat pantai agar mengubah perilakunya dari masyarakat pemakai menjadi masyarakat pengelola sumber daya alam pantai.
b. Kegiatan yang bersifat fisik, yaitu proyek rehabilitasi hutan bakau rakyat dan Percontohan empat parit.
c. Mengkampenyakan slogan “Banyak Mangrove Banyak Ikan”
d. Memberikan pilihan usaha-usaha budidaya di air payau selain perikanan, yaitu; Kepiting, kerang di bawah tegakan tanaman bakau.
Seiring dengan diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka sudah barang tentu, setiap daerah dipacu untuk memperbesar pendapatan asli daerahnya (PAD), dan setiap Dinas/Instansi yang ada dituntut untuk menunjukkan potensi yang ada diwilayah binaannya.
Untuk itulah maka kegiatan konservasi daerah pantai selalu mencari dan memberikan solusi usaha yang bisa ditunjang dengan keberadaan kawasan hutan mangrove agar dicapai kondisi harmonis antara usaha konservasi dengan budidaya pantai.
Kami memandang usaha budidaya maupun pembesaran kepiting, merupakan peluang usaha yang belum dikelola dengan baik. Padahal kepiting merupakan komoditi yang menjajikan keuntungan, dikarenakan :
a. Belum banyak yang mengusahakan
b. Harga jual tinggi
c. Konsumen cenderung merupakan masyarakat mengah ke atas dan kebutuhan ekspor terbuka lebar
d. Sangat cocok dikembangkan di daerah Brebes, yang mempunyai wilayah pesisir yang berhutan mangrove.
e. Sudah adanya jaringan (embrio) pemasaran sampai ke kota-kota besar.
Kepiting (scylla serrata) merupakan hewan berkulit keras, liar yang dapat dibudidayakan, khas daerah pantai apalagi berhutan bakau. Disamping rasanya yang lezat, juga memiliki kandungan gizi yang tinggi, sehingga kepiting merupakan makanan jenis sea food yang paling banyak diminati. Dan lebih uniknya kepiting seolah-olah mempunyai konsumen yang berkelas.
Kabupaten Brebes mempunyai panjang pantai kurang lebih 42 km, membentang dari sebelah Timur berbatasan dengan Kab. Tegal sampai ke Barat berba berbatasan dengan Propinsi Jawa Barat, praktis merupakan habitat kepiting yang sangat ideal, dikarenakan jenis tanahnya berlumpur, banyak ditumbuhi hutan mangrove dan pencemaran industri belum banyak.
Namun sangat disayangkan, bahwa potensi yang sangat besar ini belum dimanfaatkan secara maksimal dengan cara pembudidayaan. Selama ini kepiting diperoleh masih secara tradisional, misalnya: mencari dari lubang-lubang diantara tanaman bakau, memancing dan menjaring dari laut oleh nelayan. Pada beberapa teknik penangkapan tersebut, ada beberapa perbedaan yang nampak yaitu kepiting yang diperoleh dari lingkungan hutan mangrove mempunyai keunggulan fisik nyata.
Perbedaan tersebut antara lain :
Asal kepiting
Warna
Postur
Berat
1. Pancingan
Pucat
Ramping/kurus
Ringan
2. Jaring nelayan
Pucat
Ramping
Kurang
3. Hutan mangrove
Coklat tua
Gempal/bantongan
Berat
Berikut ini kami tampilkan analisa usaha pembesaran yang dilakukan oleh Kelompok Tani Dewi Sri Desa Grinting Kec. Bulakamba yang dilaksankan pada bulan Juni – Juli 2000.
II. Teknik Penggemukan
A. Waktu
Waktu yang baik untuk penggemukan kepiting bakau adalah antara bulan Nopember sampai dengan Desember dan Maret sampai dengan Agustus.
B. Syarat Lokasi
  • Di bawah tegakan tanaman Bakau
  • Air mengalir dan tidak ada pencemaran
  • Salinitas air berkisar antara 15 sampai dengan 25 per mil
  • Kondisi tempat aman dan tenang
C. Media Keramba
  • Terbuat dari bambu
  • Ukuran 100 Cm x 125 Cm x 200 Cm
D. Bibit Kepiting
1. Jantan
  • Ukuran berat 250 gram sampai dengan 300 gram
  • Jumlah 100 ekor
2. Betina
  • Ukuran berat 250 gram sampai dengan 300 gram
  • Jumlah 100 ekor
E. Makanan Tambahan
Berupa ikan rucah (mujaer, pirik, dan lain-lain) sebanyak 3 kg per hari, diberikan 2 kali (pagi dan sore).
F. Lamanya Penggemukan
1. Jantan dengan tujuan menambah berat (gemuk).
Antara 24 sampai dengan 28 hari.
2. Betina menjadikan kepiting mengandung telur.
Antara 18 sampai dengan 24 hari.
G. Pengawasan.
Pengawasan dilakukan bersama dengan saat pemberian makanan tambahan dan waktu luang lainnya untuk melihat: perubahan yang terjadi, kematian, dan keamanan dari pencurian.
H. Pemanenan.
Pemanenan dilakukan setelah waktu penggemukan sudah tiba seperti di atas, atau sudah terjadi perubahan nyata dari berat kepiting. Biasanya kepiting yang sudah dipanen, dipilih menurut besar kecilnya dan jenis jenis kelaminnya (jantan atau betinanya).
Hal ini dikarenakan jenis kepiting jantan dan jenis kepiting betina yang sudah bertelur mempunyai nilai jual yang berbeda.
III. Analisa Hasil Produksi
A. Pengeluaran
· Biaya pembuatan keramba 1 unit Rp. 200.000,00
· Pembelian bibit kepiting 100 ekor Rp. 200.000,00
· Makanan tambahan 60 kg x Rp.3.000 Rp. 180.000,00
· Tenaga pengawas Rp. 100.000,00
· Resiko kematian Rp. 20.000,00
Total Rp. 700.000,00
B. Pemasukan
1. Kepiting Jantan
Setelah digemukkan selama 24 sampai dengan 28 hari, kepiting mengalami penambahan berat mencapai 40 % dari berat awal. Jadi asumsi kepiting 100 ekor dengan berat 25 kg akan bertambah menjadi 35 kg, sehingga dengan harga per kilogram Rp. 20.000,00, maka akan diperoleh pemasukan sebesar:
35 Kg x Rp. 20.000,00 = Rp. 700.000,00.
2. Kepiting Betina
Penggemukan kepiting betina adalah bibit awal yang tidak bertelur, setelah digemukkan selama 18 sampai dengan 24 hari menjadi gemuk dan bertelur. Sehingga mengalami penambahan berat mencapai 40%. Jadi asumsi kepiting 100 ekor dengan berat 25 kg akan bertambah menjadi 35 kg, sehingga dengan harga per kilogram Rp. 28.000,00, maka akan diperoleh pemasukan sebesar: 35 Kg x Rp. 28.000,00 = Rp. 980.000,00.
C. Keuntungan
1. Kepiting jantan
Musim pertama panen sudah mencapai titik impas, namun menyisihkan keuntungan dari sudah tersedianya keramba untuk modal awal musim berikutnya.
2. Kepiting Betina
Disamping sudah menyisihkan keramba sebagai modal awal, ternyata kepiting betina menjanjikan keuntungan keuntungan yang lebih baik, dikarenakan nilai jualnya lebih tinggi.. Sehingga dari asumsi panen 35 kg x Rp. 28.000,00 =
Rp. 980.000,00 – Rp. 700.000,00 = Rp. 280.000,00.

IV. Hambatan/masalah
a. Bibit kepiting, masih terbatas yang diperoleh dari alam, sehingga untuk usaha besar-besaran belum memungkinkan
b. Budidaya/pembesaran ini masih bergantung kepada musim, artinya belum dilaksanakan sepanjang musim.

V. Kesimpulan
Keuntungan yang diperoleh dari usaha penggemukan kepiting:
a. Keuntungan finansial.
b. Membuka lapangan kerja baru dan penyerapan tenaga kerja.
c. Memanfaatkan kondisi wilayah pantai yang memiliki hutan mangrove.
d. Menjanjikan kesinambungan usaha, sebab menurut pengamatan saat ini masih besar konsumen dibandingkan produksi.

0 komentar:

Posting Komentar